Mismatch Kompetensi Jadi Biang Kerok Tingginya Jumlah Sarjana Menganggur

Sedang Trending 5 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
Mismatch Kompetensi Jadi Biang Kerok Tingginya Jumlah Sarjana Menganggur Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Darmawansyah.(Dok. Youtube)

DIREKTUR Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Darmawansyah mengungkapkan, tingginya tingkat pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi disebabkan oleh ketidaksesuaian (mismatch) antara kompetensi lulusan dan kebutuhan bumi kerja. 

Hal ini disampaikannya dalam Forum Diskusi Denpasar 12 berjudul Meningkatnya Angka Pengangguran Sarjana nan Mengkhawatirkan secara daring, Rabu (9/7).

"Kenapa banyak lulusan universitas menganggur? Penyebab nan paling dominan adalah mismatch. Kompetensi nan mereka miliki tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja," jelasnya.

Darmawansyah menuturkan, berasas hasil wawancara dan kunjungan langsung Kemnaker ke sejumlah area industri, banyak perusahaan justru mengeluhkan kesulitan dalam mencari tenaga kerja nan sesuai. Sementara, para pencari kerja juga merasa kesulitan mendapatkan pekerjaan. 

"Terjadi anomali. Ada sesuatu nan salah dalam sistem pendidikan kita jika mismatch ini terus terjadi," ucapnya.

Berdasarkan info Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 153 juta orang. Dari jumlah tersebut, 145 juta telah bekerja, sementara 7,28 juta tetap menganggur. Jika dirinci menurut tingkat pendidikan, nomor pengangguran dari lulusan universitas mencapai 1 juta orang, diploma sebanyak  177 ribu orang, lulusan SMK sebesar 1,6 juta orang, SMA 2 juta orang, serta 2,4 juta orang dari lulusan SMP dan SD.

Selain mismatch, Darmawansyah menerangkan ada beberapa aspek lain nan menyebabkan pengangguran. Yakni, keterbatasan akses informasi, terutama di wilayah terpencil seperti luar Jawa dan Papua. Masyarakat di wilayah tersebut kesulitan memperoleh info lowongan kerja nan relevan. 

Berikutnya adalah pilihan individu. Sebagian lulusan sarjana secara sadar memilih untuk tidak langsung bekerja lantaran mau mencari pekerjaan nan sesuai dengan minat. 

"Kami juga menemukan mereka nan menganggur bukan lantaran tidak ada peluang, tetapi lantaran pilihan untuk tidak bekerja secara mengikat," jelasnya.

Terjadi paradoks
Di obrolan nan sama, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Pancasila Silverius Y Soeharso menyoroti persoalan krusial mengenai tingginya tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK dan jenjang diploma (D1, D2, dan D3). Ia menjelaskan, tingkap serapan lulusan perguruan tinggi di pasar kerja saat ini hanya sekitar 10,5%, jauh lebih rendah dibandingkan lulusan pendidikan dasar (SD ke bawah) nan mencapai 40%–50%. 

Kemudian, berasas info Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) nasional pada tahun 2024 turun menjadi 4,91%, lebih rendah dari 2023 nan sebesar 5,32% dan 2022 dengan 5,86%. 

"Ini terjadi paradoks. Ketika tren pengangguran terbuka secara nasional menunjukkan penurunan, tingkat pengangguran dari perguruan tinggi justru meningkat," tuturnya.

Silverius menilai persoalan ini berasal dari tidak adanya keselarasan visi dalam pembangunan sistem pendidikan nasional. Pendidikan semestinya dibangun dalam corak ekosistem nan terintegrasi, meliputi aspek proses produksi (pendidikan), penyerapan tenaga kerja, serta peningkatan kompetensi melalui upskilling dan reskilling.

Pendidikan tidak bisa dipandang sebagai entitas terpisah, melainkan bagian dari satu kesatuan sistem nasional nan utuh. Dia pun menyinggung inkonsistensi kebijakan akibat perubahan kepemimpinan. 

"Ada istilah tukar menteri, tukar kebijakan. Ganti kurikulum, tukar buku," ujarnya. 

Seharusnya, pemerintah membikin cetak biru alias blueprint strategi jangka panjang, alias roadmap pendidikan tinggi nan berkepanjangan seperti nan diterapkan di banyak negara maju. Idealnya, Indonesia mempunyai rencana pendidikan tinggi nan konsisten untuk jangka waktu 25 hingga 50 tahun ke depan.

Ia juga mengkritisi kejadian komersialisasi pendidikan tinggi nan kerap terkooptasi oleh kepentingan politik dan ekonomi.

"Perguruan tinggi semestinya tidak menjadi perangkat untuk mengejar untung semata, melainkan menjadi wadah pembuatan manusia berkualitas," tegasnya.

Revitalisasi kurikulum
Dalam kesempatan nan sama, Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menekankan pentingnya revitalisasi kurikulum pendidikan tinggi agar lebih selaras dengan kebutuhan industri. Menurutnya, perlu ada kesinambungan antara bumi pendidikan dan bumi industri melalui pendekatan link and match sehingga lulusan dapat langsung terserap oleh bumi usaha.

"Revitalisasi kurikulum pendidikan tinggi berbasis kebutuhan industri bisa menjadi salah satu perihal nan dapat dipertimbangkan," imbuhnya.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong adanya kerjasama lintas sektor, ialah antara bumi pendidikan, industri, dan pemerintah untuk menciptakan ekosistem nan mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Menurutnya, melalui kerja sama nan solid, perihal itu dapat membentuk sistem pembelajaran nan bergerak dan relevan dengan perkembangan bumi kerja modern.

"Pendidikan tinggi idealnya juga bisa mencetak insan-insan nan sanggup berkembang menjadi entrepreneur. Dengan begitu, mereka tak hanya mengisi lapangan kerja, tetapi juga menciptakan lapangan kerja berkualitas," katanya.

Direktur Panasonic Gobel Hiramsyah S Thaib menyatakan support dan partisipasi aktif perusahaannya dalam program Magang Kampus Merdeka. Ia mengungkapkan pihaknya secara optimal menerima mahasiswa magang dalam program ini.

Menurutnya, tujuan utama dari keterlibatan ini adalah agar para mahasiswa mempunyai kesiapan nan lebih matang saat lulus, tidak hanya sekadar memperoleh ijazah. 

"Hal nan paling krusial adalah memastikan mereka siap kerja, kompetitif, bisa berkontribusi secara penuh, serta bisa menunjukkan prestasi," tutupnya. (Ins/E-1)