ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Kita tentu pernah mendengar istilah "efek domino". Yaitu rangkaian peristiwa nan saling berkaitan, di mana satu kejadian memicu kejadian lain, seperti susunan domino nan jatuh satu per satu.
Seperti itulah gelombang instabilitas nan menyapu bumi sejak April 2025. Ia bergerak seperti deretan domino: satu keping jatuh, keping lain menyusul.
Titik mula terjadi pada 22 April di Kashmir, ketika serangan bersenjata di Pahalgam menewaskan 26 pelancong Hindu. New Delhi menuding jaringan militan nan beraksi dari Pakistan dan, dua pekan kemudian, melancarkan Operation Sindoor. Berupa serangan rudal dan drone terhadap sembilan sasaran di Pakistan serta Azad Kashmir (7‑10 Mei).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Empat hari baku tembak merenggut lebih dari 80 nyawa dan memaksa puluhan ribu orang mengungsi di sepanjang Line of Control, meninggalkan bayang‑bayang ancaman nuklir di Asia Selatan.
Tiga pekan berselang, api bentrok menjalar ke Timur Tengah. Pada 13 Juni Israel memulai "Perang 12 Hari" dengan menghantam akomodasi nuklir dan markas Garda Revolusi Iran. Teheran membalas ratusan rudal balistik ke Tel Aviv. Ketika gencatan 24 Juni diumumkan, Iran mengakui 935 korban jiwa, 38 di antaranya anak‑anak. Sementara Israel kehilangan 28 penduduk dan lebih dari 3 000 orang terluka.
Tragisnya, jarak senjata dengan Iran tak menghentikan mesin perang Israel di Gaza. Serangan darat‑udara terus menyasar kamp pengungsi dan meratakan kota‑kota seperti Khuza'a, menewaskan lebih dari 57 000 penduduk Palestina. PBB memperingatkan kelaparan "fase 5" bagi separuh juta penduduk, dan Amnesty International menyebut blokade support Israel sebagai tindakan nan "memenuhi unsur genosida".
Ketika perhatian bumi terpusat pada Gaza, Rusia melancarkan serangan udara terbesar sejak 2022. 539 drone Shahed dan 11 rudal menghujani Kyiv sejak malam 3 Juli. Separuh sukses ditembak jatuh, namun sisanya memicu kebakaran di enam distrik, melukai sedikitnya 23 penduduk dan membakar sebuah klinik.
Gempuran itu datang tepat setelah telepon Donald Trump–Vladimir Putin, di tengah keputusan Washington menangguhkan pengiriman sistem Patriot, nan menjadi pertanda goyahnya support Barat bagi Ukraina.
Urut‑urutannya jelas: Kashmir, lampau Teluk Persia, menyusul Gaza, dan Kyiv. Tiap krisis meninggalkan vakuum keamanan nan segera diisi bentrok berikutnya, nan memperlihatkan pengaruh domino instabilitas regional.
Rivalitas bersenjata nuklir di Asia Selatan memantik keberanian Israel menyerang Iran. Respons Iran memperdalam isolasi Tel Aviv nan lantas menggandakan kekerasan di Gaza. Focus dunia nan terbelah memberi Rusia ruang menghantam Ukraina tanpa banyak konsekuensi.
Dan di kembali semuanya, mundurnya komitmen militer AS – dari Asia Selatan hingga Eropa – membentuk pola retrenchment nan kian menyulitkan diplomasi multilateral. Tanpa sistem de‑eskalasi terpadu, setiap keping nan jatuh hanya menunggu saat menjatuhkan keping berikutnya.
Pattern Perang Dunia I & II
Gelombang bentrok nan terjadi secara beruntun sejak April hingga Juli 2025 menunjukkan sebuah pola nan mengkhawatirkan dan mengingatkan kita pada tahapan awal sebelum pecahnya Perang Dunia I dan II.
Perang India–Pakistan di Kashmir, Perang 12 Hari antara Iran dan Israel, berlanjutnya genosida di Gaza, dan serangan besar-besaran Rusia ke Ukraina bukanlah rangkaian peristiwa nan berdiri sendiri, melainkan saling berangkaian dalam lanskap sistem internasional nan tengah mengalami krisis struktural.
Keempat bentrok ini merefleksikan dinamika bumi nan kembali bergerak menuju kondisi anarki, di mana tidak ada otoritas dunia nan bisa mengatur alias menahan laju agresi negara-negara kuat.
Lebih dari sekadar letupan kekerasan regional, rangkaian peristiwa ini memperlihatkan retaknya sistem aliansi global, tumpulnya lembaga internasional, meningkatnya agresivitas tokoh regional, serta hilangnya kepercayaan pada norma dan norma internasional. Sebuah indikasi klasik nan pernah mendahului dua perang bumi sebelumnya.
Dalam konteks teori hubungan internasional, situasi ini secara jelas menggambarkan bangkitnya kembali logika neo-realisme. Teori ini menegaskan bahwa dalam sistem internasional nan anarkis, negara bertindak berasas kepentingan nasionalnya semata, tanpa bisa berjuntai pada sistem alias norma nan lebih tinggi.
Ketika Amerika Serikat, sebagai penyeimbang utama dalam beragam bentrok global, mulai menarik diri dari peran hegemoniknya dan beranjak pada kebijakan retrenchment, maka negara-negara lain, baik musuh maupun sekutu, merespons dengan langkah masing-masing.
Rusia, misalnya, membaca penurunan support militer AS ke Ukraina sebagai sinyal melemahnya komitmen Barat, dan langsung merespons dengan serangan drone dan rudal paling masif ke Kyiv sejak 2022. Israel pun melancarkan serangan terhadap Iran dan kembali memperbesar skala kekerasan di Gaza lantaran percaya tidak bakal ada tekanan efektif dari Dewan Keamanan PBB. India bertindak pre-emptive di Kashmir, dengan dugaan bahwa bumi tengah terlalu sibuk memantau krisis Timur Tengah.
Semua ini menegaskan kembalinya sistem self-help dalam hubungan internasional, ketika masing-masing negara merasa kudu bertindak sendiri demi menjamin kelangsungan hidupnya.
Pola Awal PD I
Jika dicermati lebih dalam, gejala-gejala ini mengingatkan pada dinamika menjelang Perang Dunia I. Saat itu, mobilisasi militer Austria, Jerman, dan Rusia pada awal Juli 1914 bukan hanya tindakan pertahanan, melainkan juga sinyal bahwa mereka tidak lagi mempercayai sistem aliansi alias mediasi internasional.
Dilemma keamanan (Security dilemma) semakin menguat, dimana langkah melindungi dianggap ofensif oleh pihak lawan, dan perlombaan mobilisasi dengan sigap berubah menjadi perang besar.
Situasi serupa terlihat hari ini. India merasa perlu mengamankan Kashmir lantaran cemas dengan aktivitas militan di wilayah perbatasan, sementara Pakistan memandang tindakan itu sebagai ancaman terhadap kedaulatan nasionalnya.
Israel menganggap program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial, sementara Iran menilai serangan udara Israel sebagai agresi terang-terangan terhadap kedaulatan dan kehormatan nasional. Rusia menyatakan bahwa serangannya terhadap Ukraina adalah bagian dari "denazifikasi" dan memihak wilayah historisnya, sementara Ukraina dan Barat melihatnya sebagai upaya ekspansi imperialis.
Ketegangan dan kesalahpahaman seperti ini menciptakan spiral bentrok nan susah dihentikan, lantaran setiap langkah pembalasan dianggap sebagai corak pertahanan diri nan sah.
Pola Awal PD II
Dalam konteks menjelang Perang Dunia II, paralelnya juga mencolok. Ketika Hitler merebut Rhineland dan kemudian menginvasi Sudetenland, reaksi pasif dari Inggris dan Prancis justru memperkuat keyakinannya bahwa Barat tidak bakal bertindak.
Kebijakan appeasement saat itu, nan bermaksud meredakan ketegangan, malah menjadi lampu hijau untuk ekspansi Jerman lebih jauh.
Situasi ini sangat mirip dengan kebijakan Barat terhadap Israel hari ini. Ketika bumi internasional hanya memberikan kecaman retoris terhadap kekerasan Israel di Gaza, tanpa hukuman nyata alias tekanan efektif, maka tindakan militer Israel makin brutal, apalagi ketika tuduhan genosida telah didokumentasikan secara luas.
Di sisi lain, Rusia memandang absennya respons tegas terhadap Israel sebagai parameter bahwa organisasi internasional tak lagi bisa menahan agresi. Maka tak heran jika Moskwa merasa leluasa melanjutkan kampanye militernya di Ukraina.
Dalam konteks ini pula, teori balance of power menjadi relevan. Ketika tidak ada kekuatan nan bisa menyeimbangkan agresor, maka bentrok bakal terus melebar. Eropa Timur sekarang tidak mempunyai penyeimbang efektif terhadap Rusia, Timur Tengah tidak mempunyai kekuatan nan bisa menahan kekuasaan Israel, dan Asia Selatan menghadapi krisis keseimbangan antara India dan Pakistan nan sarat potensi nuklir.
Mandulnya Institusi Multilateral
Di tengah itu semua, lembaga dunia seperti PBB, Mahkamah Internasional, alias Dewan HAM PBB kehilangan relevansi lantaran tak bisa menjalankan kegunaan penegakan norma dan perdamaian. Bahkan organisasi-organisasi regional seperti Liga Arab alias OKI terbukti tidak bisa memberi tekanan berarti, meskipun puluhan ribu rakyat Palestina terbunuh di depan mata dunia.
Interdependensi ekonomi dan teknologi nan selama ini dianggap bisa menjadi penahan bentrok juga tidak berfungsi. Ketika rantai pasok dunia bisa dimanfaatkan untuk memotong support militer alias ekonomi secara sepihak, maka saling ketergantungan berubah menjadi senjata politik baru.
Di tengah bumi nan terkoneksi secara digital dan media sosial nan masif, narasi kekerasan menjadi viral lebih sigap dibandingkan diplomasi bisa bekerja.
Apa nan kita lihat hari ini adalah bumi nan perlahan namun pasti sedang tergelincir menuju fase krisis sistemik global. Jika tidak ada langkah besar untuk membangun kembali tatanan keamanan internasional, baik melalui reformasi lembaga global, diplomasi regional, alias penguatan norma kemanusiaan, maka eskalasi ini bakal terus melebar.
Mencegah Perang Dunia III
Dunia pernah kandas mengenali tanda-tanda ini pada 1914 dan 1939. Dua kali, nilai nan dibayar adalah puluhan juta nyawa dan kehancuran peradaban. Kini, dengan senjata nuklir, drone otonom, dan sistem info nan bisa memanipulasi persepsi massal dalam hitungan detik, konsekuensinya bisa jauh lebih sigap dan lebih parah.
Dunia tidak lagi punya waktu untuk bersikap pasif. Krisis ini bukan lagi peringatan. Ia adalah indikasi awal dari babak sejarah nan bisa mengulang kengerian abad ke-20—dengan wajah nan lebih dingin, lebih digital, dan lebih mematikan.
Untuk mencegah agar sejarah tidak kembali terulang dalam corak nan lebih mematikan, bumi perlu membangun ulang arsitektur keamanan dunia nan selama ini terbukti rentan menghadapi tekanan geopolitik mutakhir.
Rekonstruksi itu kudu dimulai dengan mereformasi lembaga internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB, agar lebih representatif dan tidak dikuasai oleh kepentingan veto segelintir negara. Mekanisme pencegahan bentrok regional juga kudu diperkuat melalui revitalisasi forum-forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF) di Asia dan OSCE di Eropa Timur, sehingga bisa bertindak lebih sigap dan efektif dalam meredam eskalasi.
Di saat nan sama, diplomasi tidak boleh hanya bertumpu pada jalur formal. Diperlukan diplomasi multitrack nan melibatkan aktor-aktor non-negara (masyarakat sipil, pemuka agama, dan organisasi transnasional), untuk membangun tekanan moral dan menciptakan narasi tenteram nan kuat.
Dan nan tak kalah penting, prinsip keamanan kolektif kudu dihidupkan kembali, bukan berasas loyalitas aliansi sempit, tetapi atas dasar tanggung jawab berbareng untuk mencegah penderitaan umat manusia.
Dalam seluruh proses ini, Indonesia – dengan prinsip bebas aktif, posisi strategis di G-20, dan legitimasi moral sebagai negara kerakyatan terbesar di bumi Islam – wajib mengambil peran aktif sebagai jembatan, penengah, sekaligus penggerak konsensus dunia baru menuju perdamaian nan lebih setara dan lestari. Wallahualam bi sawab
Wim Tohari Daniealdi. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, UNIKOM, Bandung
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini