Parpol Diminta Tunjukan Kepatuhan Dalam Berkonstitusi

Sedang Trending 13 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
Parpol Diminta Tunjukan Kepatuhan dalam Berkonstitusi Ilustrasi(Dok.MI)

Pakar Hukum Tata Negara dan Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini menepis pandangan Golkar soal Mahkamah Konstitusi (MK) nan dinilai tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru mengenai putusan No.135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. 

Menurut Titi, pernyataan itu keliru karena transformasi MK dalam perkembangannya tidak lagi menjadi sekadar negative legislator dalam meneruskan suatu perkara, tetapi sudah melangkah progresif sebagai lembaga nan dapat menafsirkan konstitusi.

“Misalnya Putusan MK tentang sistem pemilu pada tahun 2009, termasuk juga Putusan soal syarat usia calon di Pilpres nan terang-terangan memosisikan MK bukan sebagai negative legislator. Ternyata semua partai tidak ada satupun memprotes Putusan MK No.90/PUU-XXI/2024 soal syarat usia tersebut. Mestinya partai tidak tebang pilih,” katanya kepada Media Indonesia, hari ini.

Selain itu, Titi menekankan bahwa putusan MK tidak mencuri kedaulatan rakyat ataupun bertentangan dengan konstitusi Pasal 22E UUD 1945 seperti nan dikatakan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Fraksi Golkar, Nurdin Halid.

“Alih-alih menyatakan Putusan MK tidak mengikat, lebih baik partai dan pembentuk undang-undang menunjukkan kepatuhan berkonstitusi dan segera menindaklanjuti putusan MK ini dengan Perubahan UU Pemilu,” tukasnya. 

Titi menilai berasas pertimbangan dua kali pemilu serentak pada 2019 dan 2024, saat ini UU Pemilu dan Pilkada nan ada tidak lagi kompatibel untuk merespon perkembangan pemilu di Indonesia. 

“Justru saat ini lebih krusial bagi pembentuk UU, termasuk partai-partai nan ada di dalam parlemen, untuk memikirkan kreasi sistem, manajemen, kelembagaan, dan keadilan pemilu nan kompatibel dengan kreasi keserentakan sebagaimana telah diputus oleh MK,” ujarnya. 

Titi menilai partai politik jangan hanya melayangkan protes untuk kepentingan segelintir pihak, tetapi kudu bisa mendengarkan beragam pandangan dari masyarakat luas dan seluruh pemangku kepentingan. 

Menurutnya, perihal itu krusial agar Putusan MK bisa diterjemahkan menjadi kebijakan nan tepat dan sejalan dengan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pemilu Indonesia. 

“Narasi nan langsung menyimpulkan Putusan MK inkonstitusional sehingga tidak mempunyai kekuatan norma mengikat adalah terlalu fatalistik dan menunjukkan preseden nan jelek bagi praktik negara norma berdasar kerakyatan konstitusional, dimana Putusan MK berkarakter final dan mengikat,” jelas Titi. 

Titi menegaskan bahwa pembentuk undang-undang (UU) semestinya tidak lagi membenturkan putusan MK dengan patokan lainnya dan segera mengubah UU Pemilu UU No.7 tahun 2017, agar beragam akibat nan timbul dari Putusan MK tersebut bisa diatur dengan baik dan memperhitungkan beragam aspek secara holistik.

Di samping itu, Titi memandang bahwa banyak pasal-pasal dalam UU Pemilu nan sudah dibatalkan dan direkonstruksi oleh MK sehingga sangat mendesak untuk dilakukan revisi dan penyesuaian. 

“Kalau DPR dan Pemerintah tidak menindaklanjuti Putusan MK, maka bakal jadi preseden jelek nan justru bisa menimbulkan kemarahan alias protes besar publik,” jelasnya. 

Titi membujuk pemangku kepentingan untuk berkaca pada kasus penggagalan putusan MK mengenai periode pemisah pencalonan pilkada pada Agustus tahun lampau nan disikapi dengan aktivitas tindakan massa di masyarakat. Jika perihal itu kembali terjadi, dapat menimbulkan kondisi instabilitas politik nan mengganggu rencana pembangunan.  

“Apabila ada sikap serupa saat ini, saya kira pasti bakal sangat destruktif sekali dampaknya. Padahal Presiden Prabowo sangat memerlukan stabilitas politik dan norma dalam rangka menjalankan beragam program-programnya nan sangat strategis dan mendesak,” pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Fraksi Golkar, Nurdin Halid, menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nan meminta pemilu nasional dan wilayah dipisah. Nurdin menilai MK telah melampaui kewenangannya dan menjadi pembentuk norma baru selain DPR serta pemerintah.

“MK sudah terlampau jauh memasuki ranah pembentuk undang-undang sehingga sejumlah putusan MK menjadi polemik konstitusional. MK memasuki ranah nan bukan menjadi kewenangan MK,” kata Nurdin kepada wartawan, Sabtu (5/7).