Kemenko Perekonomian: Negosiasi Dagang Ri-as Berlangsung Dinamis

Sedang Trending 7 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
 Negosiasi Dagang RI-AS Berlangsung Dinamis Aktivitas bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta.(MI/Usman Iskandar)

JURU Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto menyampaikan Pemerintah Indonesia tetap melanjutkan upaya negosiasi jual beli dengan Amerika Serikat (AS), menyusul pernyataan terbaru Presiden AS Donald Trump nan mengisyaratkan rencana tarif tambahan mulai 1 Agustus 2025. Rencana tersebut termasuk penerapan tarif sebesar 10% terhadap negara-negara nan dinilai menjalankan kebijakan anti-Amerika, termasuk personil blok ekonomi BRICS.

Kendati demikian, Haryo mengatakan pihaknya belum dapat memberikan banyak komentar lebih perincian lantaran proses negosiasi tetap melangkah di tingkat teknis.

"Tim teknis tetap bekerja dalam negosiasi dengan AS. Saya tidak bisa berkomentar banyak mengenai rencana tarif baru AS itu, lantaran tetap dalam tahap negosiasi," ujarnya, Senin (7/7).

Dia mengungkapkan Pemerintah Indonesia telah dua kali mengusulkan proposal negosiasi kepada pihak AS. Terbaru, pemerintah mengusulkan rencana komitmen pembelian sejumlah produk asal 'Negeri Paman Sam' dengan nilai total mencapai US$34 miliar alias sekitar Rp552,13 triliun (kurs Rp16.239 per dolar AS). Dari total tersebut, sekitar US$15,5 miliar bakal dialokasikan unik untuk pembelian produk sektor energi. 

Namun demikian, Haryo menekankan tawaran tersebut disampaikan sebelum Trump mengumumkan rencana tarif tambahan terhadap sejumlah negara. Oleh lantaran itu, besar kemungkinan nilai komitmen tersebut tetap berkarakter bergerak dan dapat berubah tergantung hasil akhir negosiasi upaya antarpelaku usaha.

"Tawaran kami kemarin itu disampaikan sebelum pengumuman terbaru Presiden Trump. Faktanya, bisa saja nilainya bertambah alias justru berkurang, tergantung pada kesepakatan upaya nan tercapai," jelasnya.

Haryo kemudian menduga rencana terbaru orang nomor satu di AS itu merupakan bagian dari strategi negosiasi jual beli terhadap negara-negara nan belum menyepakati ketentuan tarif impor dengan AS.

"Pernyataan seperti itu bisa jadi merupakan bagian dari strategi negosiasi. Tapi, kita juga belum tahu pasti arahnya," ucapnya.

Hal nan terpenting, katanya, Pemerintah Indonesia tetap berkomitmen untuk memperkecil defisit neraca perdagangan dengan Amerika Serikat dan mendorong terciptanya surplus nan saling menguntungkan bagi kedua negara.

Dihubungi terpisah, Chief Economist PermataBank Josua Pardede berpandangan tetap terlalu awal untuk menarik konklusi mengenai akibat dari dinamika perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat. Pasalnya, proses negosiasi jual beli antara kedua negara tetap terus berlangsung, sementara tenggat waktu finalisasi keputusan telah diperpanjang hingga 1 Agustus 2025.

Ia menjelaskan, pemerintah AS meminta Indonesia untuk mengurangi surplus neraca perdagangan dengan langkah meningkatkan volume impor dari 'Negeri Paman Sam'. Sebagai respons, pemerintah Indonesia telah memberikan sinyal positif, antara lain dengan rencana pemberlakuan tarif impor 0% untuk sekitar 70% peralatan asal Amerika Serikat. 

"Hal ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam menjaga hubungan jual beli nan seimbang dan saling menguntungkan," imbuhnya.

Di sisi lain, langkah Indonesia untuk tetap menjalin hubungan dengan blok BRICS dinilai sebagai strategi jangka panjang. Fokus utamanya adalah diversifikasi produk ekspor dan ekspansi tujuan pasar ke negara-negara non-tradisional. Langkah ini tidak hanya memperluas jaringan perdagangan Indonesia secara global, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada pasar tertentu.

Meskipun peran Amerika Serikat dalam perdagangan Indonesia saat ini tetap cukup dominan, Josua memperkirakan potensi kontribusi negara-negara BRICS bakal meningkat secara berjenjang ke depan. Dalam konteks ini, posisi Indonesia sebagai negara non-blok memberikan elastisitas nan kuat dalam melakukan negosiasi dengan beragam mitra dagang, baik dari barat maupun dari blok negara berkembang. (Ins/E-1)