ARTICLE AD BOX

MEREKA sudah membangun rumah, membesarkan anak-anak, mendirikan sekolah, masjid, pura, dan gereja. Tapi kini, puluhan ribu penduduk di enam desa itu justru diklaim sebagai perambah area Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Mereka diminta relokasi berdikari sebelum 22 Agustus 2025.
“Kami bukan musuh hutan, kami bagian dari alam nan kami jaga,” kata Abdul Aziz, Juru Bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, Jumat (11/7).
Ia menjelaskan, area nan sekarang disebut Taman Nasional itu dulunya merupakan wilayah jejak konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Menurut Aziz, dari awal, keberadaan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) itu sangat penting, terutama di Riau nan dikenal mempunyai lahan luas. Namun ketika Penertiban itu sampai ke Taman Nasional dan masyarakat disebut sebagai perambah, membikin mereka terkejut.
“Kami kudu sudah relokasi berdikari dari sana tanpa kami dikasihkesempatan untuk melakukan pembelaan diri secara hukum. Bagaimana proses hadirnya areal nan kami tempati itu menjadi Taman Nasional, juga tidak dikaji ulang. Padahal sedari awal proses hadirnya Taman Nasional itu telah bermasalah. Namun itu seolah enggak ada dan kami nan dipersalahkan, ” ujarnya.
Ia menjelaskan, hasil inventarisasi BKSDA tahun 2006 menunjukkan bahwa area nan sekarang disebut Taman Nasional bukan lagi rimba primer. Dari info itu, rimba dengan kerapatan kayu di atas 70 persen hanya tersisa sekitar 10 ribu hektare. Sementara nan berkepadatan 40–70 persen hanya 8 ribu hektare.
“Kalau merujuk pada PP 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, Taman Nasional itu harusnya tetap alami. Tapi area ini dulunya adalah HPH PT Dwi Marta, lampau diteruskan oleh Inhutani. Bahkan saat ditunjuk menjadi Taman Nasional, sudah ada nyaris 4 ribu hektare nan dikuasai masyarakat,” jelasnya.
Menurutnya, dalam proses penataan pemisah area hutan, semestinya hak-hak masyarakat nan telah lebih dulu ada di sana, kudu dikeluarkan dari kawasan. Ini malah diambil.
“Sama seperti penunjukan Taman Nasional tahap pertama, penunjukan ekspansi Taman Nasional di tahun 2009, arealnya juga bukan rimba murni lagi, lantaran sebelumnya jejak HPH PT Nanjak Makmur. Hasil identifikasi Balai Taman Nasional dan WWF tahun 2010 apalagi menyebut lebih dari 28 ribu hektare areal nan ditunjuk menjadi Taman Nasional itu, sudah dikuasai oleh masyarakat,” tambahnya.
“Areal itu jejak HPH, belakangan, kami nan tinggal di sana dikatakan perambah dan pendatang nan merusak hutan. Sangat menyakitkan dituduh seperti itu. Orang nan tak tahu sejarah Taman Nasional itu bakal percaya saja. Sebab dalam akal mereka, itu Taman Nasional, rimba rimba, padahal, sudah jejak tebangan perusahaan” tuturnya.
Aziz menegaskan bahwa Taman Nasional itu baru mempunyai pemisah definitif pada tahun 2011. Mestinya hak-hak masyarakat nan sudah ada, dikeluarkan dari areal nan jadi Taman Nasional. Tapi itu tidak dilakukan. Akhirnya masyarakat terperangkap.
Ia juga menyoroti klaim bahwa area tersebut adalah paru-paru dunia. “Kami anggap itu tidak benar. Dari info Direktorat Jenderal KSDAE, nan diakui internasional sebagai paru-paru bumi di Riau itu adalah Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Bukit Batu, bukan Taman Nasional ini. Itu ditetapkan dalam konvensi di Jeju, Korea Selatan, tahun 2019,” ucapnya.
Aziz menegaskan, masyarakat bukan tidak cinta lingkungan. Bahkan mereka sudah menanam pohon di sana. Bahkan Ia menyindir program penghijauan satu juta pohon nan selama ini sering digaungkan.
"Coba dilihat, pohonnya ada di mana? Jangan masyarakat disuruh tanam satu-dua pohon, tapi pemerintah malah kasih izin menebangi rimba puluhan ribu hektare ke korporasi," sebutnya.
Aziz menyebut enam desa nan diklaim berada di area Taman Nasional ialah Bukit Kusuma, Lubuk Kembang Bunga, Segati, Gondai, Air Hitam, dan Bagan Limau. Jumlah jiwa nan terdampak mencapai sekitar 25 ribu orang. Di Desa Lubuk Kembang Bunga saja, tiga dusunnya sudah dihuni lebih dari 10 ribu orang.
“Di sana sudah ada akomodasi ibadah dan sekolah, semuanya dibangun swadaya. Tapi sekarang kami dipaksa memilih antara keluar alias bertahan. Kalau keluar, mau ke mana? Apakah ini tidak bakal menambah pengangguran alias gelandangan?," terangnya.
Ia menegaskan bahwa masyarakat siap menjaga rimba berbareng pemerintah. “Kalau memang klaimnya masyarakat menguasai 60 ribu hektare lahan nan disebut Taman Nasional itu, ada lahan luas milik negara nan jadi konsesi perusahaan di dekat Taman Nasional. Ambil itu 75 ribu hektare, biar kami hijaukan, hutankan. Kami siap menyisihkan duit sawit kami Rp500 ribu per hektare per tahun. Itu setara Rp30 miliar per tahun alias Rp2,5 miliar per bulan. Itu cukup untuk penghijauan. Tak hanya menghijaukan, kami juga siap menjaganya," tegasnya.
Usulan ini, kata Aziz, sudah disampaikan dalam pernyataan tertulis saat diundang oleh Badan Aspirasi Masyarakat DPR RI pada 2 Juli lalu. “Kami bukan sekadar menuntut hak, tapi juga memberi solusi," ungkapnya.
Sebagai corak keseriusan, masyarakat apalagi berseloroh mau didirikan enam pos militer untuk menjaga rimba nan dihadirkan oleh masyarakat secara swadaya itu.
“Biarkan kami nan bangun rumah bagi gajah dan satwa lain tak jauh dari tempat kami tinggal. Insya allah kami bisa dan mari kita jaga bersama," pungkasnya.(H-2)