Putusan Mk Dan Ilusi Reformasi Pemilu

Sedang Trending 11 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memecah keheningan masyarakat. Musababnya MK mengabulkan sebagian permohonan nan diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam perkara 135/PUU-XXII/2024. Amar putusan in casu pada pokoknya mengakhiri keserentakan pemilu lima kotak plus pemilihan kepala daerah.

Lebih jauh MK melalui putusan di atas telah memaknai ulang keserentakan pemilu menjadi dua waktu pelaksanaan: nasional dan lokal. Artinya pemilu nasional untuk memilih personil DPR, personil DPD, dan presiden-wakil presiden dilakukan pada hari nan sama. Kemudian berselang waktu paling singkat 2 tahun dan paling lama 2 tahun 6 bulan dilakukan pemilu lokal untuk memilih personil DPRD provinsi, personil DPRD kabupaten/kota, dan kepala wilayah secara serentak di hari nan sama pula. Jangka waktu tersebut dihitung sejak pelantikan personil DPR dan DPD alias pelantikan presiden-wakil presiden.

Dikotomi respons masyarakat terhadap makna baru keserentakan pemilu ini memantik diskursus nan begitu intens, terlebih ketika resistensi dari tokoh politik dominan (partai politik) menguat. Oleh karenanya tulisan ini turut memberikan pandangan atas diskursus nan terjadi, utamanya dalam bingkai reformasi pemilu di Indonesia.

Argumentasi Hakim

Kita perlu mengawali diskursus ini dengan memaknai argumentasi pengadil MK. Hal ini diperlukan lantaran perbincangan seputar putusan pengadilan, juga putusan 135/PUU-XXII/2024 acapkali terjebak pada amar nan dibunyikan. Tentu tidak salah, namun berpotensi menghasilkan pemaknaan nan keliru nan dangkal. Sebab menempatkan amar putusan terpisah dari ruhnya—berupa logika norma nan dibangun pengadil untuk sampai pada amar tersebut.

Padahal menurut Goodhart (1930), mengikatnya suatu putusan pengadil dikarenakan pertimbangan hukumnya. Otoritatifnya bagian pertimbangan norma dilatari oleh substansi nan termuat, ialah beragam argumen dan interpretasi pengadil nan selanjutnya terkulminasi menjadi amar putusan.

Sederhananya melalui argumentasi di atas, tulisan ini mau mengatakan dua hal. Membaca putusan MK 135/PUU-XXII/2024 jangan dipenggal hanya pada bagian amar. Di sisi lain, intensi dari kebulatan bunyi pengadil untuk mengubah kreasi agenda pemilu hanya mungkin dipahami dengan membaca ratio decidendi nan diuraikan.

Kelindan dengan perihal nan kedua itu, paling tidak kita dapat menggarisbawahi beberapa argumen krusial kenapa pengadil memisahkan kesentarakan pemilu menjadi nasional dan lokal. Pertama dan cukup mendasar adalah semakin berimpitnya waktu pemilu tingkat nasional dan lokal (termasuk pilkada) menyebabkan penumpukan beban kerja di luar pemisah wajar pada penyelenggara pemilu. Di sisi lain, kreasi nan demikian memperpendek masa kerja penyelenggara pemilu menjadi rerata 2 tahun efektif. Kontestasi 2024 adalah contoh konkret dari implikasi problem tersebut nan akhirnya menyisakan ragam masalah kemanusiaan, kualitas, dan integritas penyelenggaraan pemilu.

Kedua, kreasi agenda pemilu selayaknya tahun 2024 turut menguatkan politik transaksional dalam proses kandidasi. Partai politik terdorong menjadi sangat pragmatis lantaran memilih kandidat secara instan dengan kecenderungan pada ketenaran dan pemilik modal daripada kualitas. Dampak buritan lainnya semakin meminggirkan idealisme dan ideologi partai nan sesungguhnya sejak pemilu 2009 memang telah memudar (Aminuddin dan Ramadlan, 2015).

Ketiga, atensi pemilih dengan kreasi agenda pemilu nan menyatu seluruhnya hanya tersita pada konteks nasional daripada rumor lokal nan banget dekat dengan konstituen. Banyaknya jumlah kandidat, model surat bunyi nan rumit, dan kesiapan waktu nan tidak memadai bagi konstituen berimplikasi signifikan terhadap kemantapan pertimbangan untuk memilah dan memilih kandidat. Bagi MK, perihal ini hanya bermuara pada degradasi kualitas penyelenggaraan kedaulatan rakyat. Syahdan, bagi konstituen hanya menghasilkan pemilih irasionalitas atas pilihannya.

Keempat, kudu dipahami bahwa sejak awal pilihan keserentakan nan terpisah antara nasional dan lokal merupakan pendapat nan konstitusional. Pijakan dasarnya adalah original intent nan muncul atas Pasal 22E UUD 1945 selama proses amandemen. Hal ini juga telah ditandaskan dalam putusan MK 55/PUUXVII/2019 nan memberikan enam opsi model keserentakan pemilu di Indonesia. Artinya dapat dimaknai amar putusan 135/PUU-XXII/2024 tetap tetap berada pada pemisah koridor dan atma dari Pasal 22E UUD 1945 pasca amandemen.

Menjawab Masalah Sisaan

Memang terdapat masalah sisaan mengenai pemisahan pemilu dua waktu ini. Titik krusialnya pada transisi pemilu DPRD dan kepala daerah. Tidak dimungkiri makna baru keserentakan pemilu menyebabkan pemilihan personil DPRD dan kepala wilayah menjadi molor hingga 2 sampai 2,5 tahun. Poin ini pula nan menjadi standing point partai politik untuk menolak putusan lantaran dianggap berbenturan secara literal dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

Hal inipun telah disadari MK. Oleh karenanya MK memberikan norma untuk mengatasi perihal tersebut. Secara tegas pertimbangan [3.18.2] menyatakan transisi untuk mencapai keserentakan pemilu dua waktu mempunyai akibat pada masa kedudukan DPRD dan kepala daerah, maka pembentuk norma diberikan mandat untuk melakukan rekayasa konstitusional.

Setidaknya ada dua pendapat jumhur untuk merespons norma tersebut. Pertama, pembentuk norma atas dasar transisi keserentakan pemilu memberikan perpanjangan masa jabatan. Pilihan ini juga logis jika dikaitkan dengan argumen menekan biaya nan diperlukan selama masa peralihan tersebut.

Kedua, untuk kepala wilayah pada masa transisi dapat diisi oleh penjabat (Pj) kepala wilayah sebagaimana nan umum dilakukan selama ini. Risikonya keberlanjutan pembangunan wilayah dapat terganggu. Potensi munculnya masalah strategis lainnya juga tinggi andaikan Pj nan ditunjuk hanya bersandar pada afiliasinya dengan kekuasaan.

Sementara untuk DPRD dilakukan 'pemilu antara' untuk memilih personil DPRD dengan masa kedudukan 2 hingga 2,5 tahun sebelum keserentakan pemilu lokal betul-betul efektif diselenggarakan. Justifikasinya, kita juga pernah mengadakan pemilu sebelum genap 5 tahun, terutama pada konteks kepala wilayah untuk mencapai rekayasa pemilu serentak 2024 nan lalu. Khusus rekayasa konstitusional ini dapat saja ditangkal dengan argumen biaya pemilu nan membengkak. Namun memosisikan penghematan pemilu lokal lebih superior daripada perbaikan kualitas kerakyatan dan kemanusiaan tidaklah pula dapat dibenarkan. Sebab logika ini sama saja dengan menghunuskan belati pada prinsip-prinsip esensial demokrasi.

Terlebih lagi rumor biaya pemilu acapkali menjadi bancakan elit untuk otak-atik model pemilihan lokal nan digunakan. Celakanya, pernah terlontar buahpikiran untuk pemilihan lokal (terkhusus kepala daerah) dilakukan melalui DPRD demi menghemat biaya. Jika ditimbang, buahpikiran semacam ini jelas tidak lebih baik dari dua pendapat jumhur soal rekayasa pemisahan pemilu nan berkembang. Pun merupakan buahpikiran nan inkonstitusional.

Di samping itu, kritik nan mengatakan MK mengingkari putusan 55/PUUXVII/2019 juga kurang tepat. Sekalipun dalam putusan tersebut semula MK menyerahkan pilihan model keserentakan kepada pembentuk hukum. Nyatanya perubahan pendirian MK dengan memberikan makna baru atas keserentakan pemilu adalah keniscayaan dan kelaziman. Bahkan perubahan pendirian itu menjadi keharusan andaikan untuk menghentikan ketidakdilan (Bodenheimer, 1981).

Ilusi Reformasi Pemilu

Putusan kali ini semestinya tidak dijadikan panasea atas segala persoalan nan melingkupi pemilu kita. Ia kudu dipahami sebagai sekuel dari putusan lain nan lebih dulu lahir. Nalar norma dalam putusan ini perlu dikaitkan dengan tafsir MK tentang keserentakan pemilu dan konstitusionalitasnya.

Lebih luas lagi putusan ini adalah bagian dari elemen puzzle perbaikan sistem pemilu. Artinya putusan 135/PUU-XXII/2024 tidak dapat dibaca secara parsial dan tunggal tetapi perlu dimaknai sebagai bagian dari simpul-simpul nan dibentuk MK untuk mereformasi pemilu. Artinya pemisahan pemilu hanya bakal menjadi ilusi jika tidak dibarengi perbaikan sistem partai politik, tata kelola pemilu, reformasi penyelenggara pemilu, hingga pada upaya menutup celah manipulasi pemilu nan telah tersaji pada 2024.

Ilusi tersebut juga menjadi niscaya jika resistensi politik dominan nan bercokol pada rumor inkonstitusionalitas putusan terus menggema. Apalagi jika diikuti dengan upaya legislatif untuk melakukan disobedience terhadap putusan MK. Hal ini pada akhirnya berimplikasi mengaburkan pesan nan lebih substantif. Pesan tersebut mengenai dengan pembenahan kualitas pemilu nan sesungguhnya telah gamblang diurai dalam pertimbangan hukum.

Oleh karenanya kita perlu meramu tindakan jawaban melalui kerja-kerja kontrol sosial. Aksi tersebut kudu dilakukan secara persisten dan inkremental. Agar reformasi pemilu betul terjelma dan pembentuk norma urung balela.

Rilo Pambudi. S, Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang

(imk/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini