Menjaring Ikan, Menuai Limbah Di Jakarta

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Ilustrasi : Edi Wahyono

Selasa, 1 Juli 2025

Mahmudin lahir dan besar di pesisir Marunda. Sejak dulu dia menggantungkan hidup dari menangkap udang di tepi muara laut, menggunakan bubu. Dalam sehari, dia bisa menghabiskan delapan jam di muara dan tepian laut. Biasanya dia bisa membawa pulang 4 hingga 5 kilogram udang segar. Itu cukup untuk menghidupi lima personil keluarga—tiga anak dan seorang istri nan menjadi ibu rumah tangga. Namun, dalam empat bulan terakhir, Mahmudin tidak lagi bisa menangkap udang.

“Kami (pasang) bubu di tepi ya kena (limbah) busa itu, udang hilang,” ucap laki-laki berumur 45 tahun itu saat ditemui detikX pada Rabu, 25 Juni 2025.

Limbah busa muncul nyaris setiap kali hujan. Mahmudin menyaksikan sendiri gimana busa itu mengalir di sepanjang muara Banjir Kanal Timur hingga ke laut.

“Banyak sampai ke laut,” tuturnya.

Busa itu memengaruhi ekosistem pesisir, memaksa udang menjauh dari garis pantai. Sejak kesulitan mendapatkan udang, Mahmudin beranjak menjadi nelayan rawe—penangkap ikan di laut tengah. Sayangnya, perahu kecilnya tidak dirancang untuk menghadapi gelombang tinggi.

“Bahaya juga jika ke tengah, kan perahunya kecil,” katanya.

Waktu kerja pun jadi lebih lama, hingga 24 jam. Sementara itu, biaya tenaga bahan bakar membengkak. “Pakai solar Rp 150 ribu sampai 200 ribu, jadi kepotong banyak,” ungkapnya.

Dulu, dari hasil tangkapan udang, Mahmudin bisa memperoleh Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per hari. Dalam sebulan, pendapatannya bisa mencapai Rp 3-4 juta, tapi sekarang penghasilan itu ambruk drastis.

Selain polutan dari arah hulu kali nan menghasilkan busa, penduduk juga dihantui limbah-limbah berbau menyengat nan berasal dari area industri di sekitar Marunda.

“Bau, ikan sampai mati, sebulan baru hilang,” ujarnya.

Suasana limbah busa di area Pintu Air Banjir Kanal Timur (BKT) Marunda, Jakarta Utara, Senin (23/6/2025).
Foto : Pradita Utama/librosfullgratis.com

Menurutnya, jika ada limbah nan dibuang ke muara dan pesisir laut, nelayan tidak bisa bekerja seperti biasa. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan, mereka kudu beranjak pekerjaan sementara menjadi kuli.

Meski para nelayan pernah menyampaikan keluhan, hasilnya nihil. “Ya nelayan sini sudah pernah ngeluh semua, ngeluh ke dinas percuma kayaknya,” keluhnya.

Di tengah kesulitan itu, Mahmudin hanya berharap, jika tidak bisa sepenuhnya menghilangkan paparan limbah, setidaknya pemerintah bisa mengurangi keberadaan limbah nan terbukti merugikan warga.

Hal serupa dialami oleh Adul, seorang nelayan nan tinggal di area pesisir Marunda sejak 2002. Pada usianya nan menginjak 62 tahun, dia tetap rutin ke laut saban pagi pukul enam. Dengan skema serok, dia mengandalkan hasil tangkapan udang untuk hidup. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, kondisi perairan berubah drastis.

Ia menyebut satu penyebab nan paling menyulitkan, ialah limbah. Limbah mengalir dari arah hulu sungai dan menghasilkan busa-busa putih di muara. Selain itu, ada limbah kimia yang, menurutnya, berasal dari pabrik-pabrik di area industri sekitar Marunda.

Limbah tersebut, menurutnya, dibuang secara diam-diam saat hujan, seminggu sekali. Modusnya pembuangan limbah dilakukan berbarengan dengan turunnya hujan. Ini untuk menyamarkan tindakan.

"Pabrik gula, pabrik oli, minyak tuh. Nah itu. Tapi kan kita mau gimana memangnya? Kita sudah nggak bisa ngapa-ngapain dah," sambungnya.

Adul dan rekan-rekannya sudah beberapa kali mengadu dan melakukan demonstrasi sebanyak tiga kali ke pelaku industri. Namun tidak ada tanggapan serius dari pihak berkuasa maupun pelaku industri. Justru penduduk nan protes, menurut Adul, dianggap sebagai perusuh.

Padahal paparan jelek berakibat langsung terhadap penghasilan orang dewasa. Dulu dia bisa memperoleh Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu sehari, sekarang dia hanya bisa mengumpulkan puluhan ribu rupiah. Akibat paparan limbah, ikan-ikan nan biasanya mudah ditangkap juga sudah susah ditemui.

“Saya saja ini sudah nyaris sebulan, Pak. Penghasilannya paling Rp 30 ribu, Rp 40 ribu,” ucapnya.

Busa putih nan melayang-layang di permukaan air sungai Jakarta bukan sekadar gangguan visual. Menurut Manajer Divisi Advokasi Ecoton Alex Rahmatullah, busa adalah indikasi dari krisis lingkungan nan lebih dalam. Busa-busa itu berasal dari akumulasi limbah industri dan domestik nan mencemari aliran sungai hingga ke laut.

“Kami sebenarnya dari dua hari nan lalu, lenyap dari sana, lenyap dari nan di Pintu Air Marunda,” ujar Alex kepada detikX pada Jumat lalu.

Ia mengatakan kasus di Jakarta mirip dengan nan terjadi di Tambak Wedi, Surabaya, dan wilayah pesisir utara Jawa lainnya. Sumber utama busa itu, kata Alex, adalah fosfat dan surfaktan—zat kimia dari detergen rumah tangga maupun limbah industri. Keduanya sangat tinggi kadarnya, apalagi melampaui lima kali lipat dari baku mutu.

“Kalau sungai berbusa, otomatis ikan-ikan nan sangat sensitif, dia bakal pindah, bermigrasi. Bahkan tidak jarang bisa sampai mati,” paparnya.

Paparan limbah tersebut turut memicu mekarnya alga. Pertumbuhan alga nan berlebihan akibat tingginya fosfat menyebabkan kadar oksigen dalam air menurun.

“Ketika (kadar oksigen) menurun, bakal berpengaruh terhadap biota, terutama ikan,” jelasnya.

Hanya sedikit jenis ikan nan toleran terhadap kondisi tersebut, seperti lele alias mujair. Sisanya, terutama ikan sensitif: meninggal alias bermigrasi. Dampaknya juga tidak berakhir pada air dan ikan saja.

“Ikannya dimakan manusia, otomatis bakal terjadi nan namanya biomagnifikasi. Polutannya bakal tersalurkan ke manusia, dan itu bisa berakibat pada kesehatan,” ujar Alex.

Ecoton juga menemukan partikel mikroplastik dalam jumlah besar saat pengambilan sampel udara di muara Banjir Kanal Timur, Jakarta. Dalam 1 liter sampel udara ditemukan 103 partikel plastik. Kondisinya jauh di atas rata-rata temuan di wilayah hulu, nan hanya 20-30 partikel per liter. Partikel itu berasal dari fiber tekstil dan plastik tipis.

"Artinya benar. Ketika orang-orang mencuci baju, limbahnya dibuang ke sungai. Kemudian nan kedua ada movie alias filamen. Itu berasal dari plastik-plastik tipis seperti kresek ataupun bungkusan jajanan makanan," ucapnya.

Pedayung nomor kayak DKI Jakarta Muhammad Fajar Maulana berlatih di antara busa-busa limbah di Sungai Banjir Kanal Timur, Marunda, Jakarta, Rabu (17/8/2022).
Foto : Aditya Pradana Putra/Antarafoto

Kondisi ini, menurut Alex, diperparah oleh lemahnya pengawasan dan lambannya pemerintah bertindak.

“DLH juga semestinya punya info ini ya, inventarisasi industri nan berdiri di sepanjang bantaran ataupun nan membuang limbahnya ke sungai. Harapannya, kudu menginspeksi itu,” tegas Alex.

Dari pengalaman Ecoton di Sungai Brantas, Jawa Timur, Alex mengingatkan paparan limbah tertentu apalagi menyebabkan interseks pada ikan (satu perseorangan ikan mempunyai dua jenis kelamin).

“Hampir 30 persen ikan di Sungai Brantas itu mengalami nan namanya interseks. Jadi ikannya ini tidak bakal bisa bertelur, tidak bakal bisa berkembang biak, sehingga terancam kepunahan.”

Untuk mengatasi dan mencegah akibat lebih jelek di Jakarta, Alex menekankan pentingnya pemerintah membangun IPAL komunal, ialah sistem pengolahan air limbah domestik nan dilakukan dengan langkah terjangkau. Selain itu, pemerintah diminta tegas menindak pelaku industri bandel nan membuang limbah tanpa pengolahan nan bisa sebelumnya.

“Kalau sungai terus dibiarkan seperti ini, bukan hanya ikan nan bakal punah, tapi air bersih juga bakal semakin langka bagi manusia,” ucapnya.

Limbah busa nan muncul di Kali BKT (Banjir Kanal Timur), terutama di sekitar Pintu Air Marunda, bukanlah kejadian baru bagi Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara. Kepala Seksi Pengawasan dan Penaatan Hukum DLH Jakarta Abdur Rochman, mengungkap pengaduan serupa sudah masuk sejak 2016.

“Pengaduan ini sudah berjalan sejak 9 tahun nan lampau ya, pada 2016 itu di info kami ada beberapa pengaduan sejenis nan berasosiasi dengan busa nan timbul di BKT,” kata Abdur.

Ia menjelaskan, berasas pemantauan rutin di 13 sungai besar di Jakarta, termasuk BKT, hasil pemantauan 2024-2025 menunjukkan kualitas udara di BKT bagian hilir berada dalam kategori cemar sedang hingga cemar berat. Abdur menyebut kategori cemar berat terjadi sebanyak empat kali (22 persen) dari 18 kali pengambilan sampel.

DLH menyatakan telah berkoordinasi dengan lembaga lain, termasuk Dinas Sumber Daya Air (SDA), untuk membangun sistem IPAL komunal. Selain itu, pembangunan Jakarta Sewerage System (JSS) diklaim sedang berjalan di wilayah Penjaringan.

Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]