Kedaulatan Algoritma Dalam Perang Kognitif

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
Kedaulatan Algoritma dalam Perang Kognitif (MI/Duta)

PERANG kognitif adalah corak peperangan nan menargetkan pikiran manusia, bukan bentuk alias teritorial. Perang ini memanfaatkan informasi, disinformasi, dan teknologi untuk memanipulasi persepsi, memecah belah masyarakat, dan memengaruhi keputusan publik, tanpa satu peluru pun ditembakkan. nan membuatnya rawan adalah kecepatannya: algoritma dan kepintaran buatan (AI) memungkinkan narasi palsu, termasuk disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK), menyebar lebih sigap daripada klarifikasi, menciptakan kerusakan sosial dalam hitungan jam.

Dalam ranah politik, DFK dapat memicu polarisasi, melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga, dan membunuh karakter seseorang alias suatu lembaga secara sistemik. Dampaknya meluas, tak hanya di politik, tapi juga ekonomi. Algoritma e-commerce, misalnya, bisa dirancang untuk mempromosikan produk dari entitas tertentu dan mengaburkan visibilitas pelaku UMKM lokal.

Dalam jangka panjang, ini menciptakan ketergantungan pada pemain tertentu dan berpotensi mempercepat deindustrialisasi. Pilihan konsumen nan tampak netral rupanya diarahkan secara sistematis oleh sistem nan bekerja untuk kepentingan tertentu.

HEURISTICS DAN ILUSI FREE WILL

Dalam bukunya, Thinking, Fast and Slow, Daniel Kahneman menjelaskan bahwa manusia mengandalkan heuristics, jalan pintas berpikir, untuk membikin keputusan sigap dalam bumi kompleks. Heuristics ini merupakan hidayah bagi manusia sehingga manusia dapat memperkuat dan berkembang menjadi unggul dalam proses evolusinya. Namun, meskipun efisien, heuristics juga rawan bias. Misalnya, availability heuristic membuat kita menganggap sesuatu krusial hanya lantaran sering muncul, bukan lantaran valid.

Dalam konteks digital, heuristics ini menjadi titik masuk utama dalam perang kognitif. Algoritma mempelajari apa nan kita sukai dan takuti, lampau menyajikan konten nan mengonfirmasi keyakinan (confirmation bias), memancing emosi negatif (negativity bias), atau memperkuat identitas kelompok (in-group bias). Kita merasa bebas memilih apa nan kita lihat, baca, dan beli, padahal semua itu adalah hasil kurasi algoritma. Inilah nan disebut ilusi free will.

Dalam realitas digital nan dikendalikan algoritma, kehendak bebas menjadi komoditas nan diprogram. Dan semakin kita percaya bahwa kita berpikir secara mandiri, semakin efektif manipulasi itu bekerja.

ALGORITMA YANG DIPERSENJATAI

Algoritma adalah petunjuk otomatis nan menentukan konten nan kita lihat dan respons nan kita berikan. Saat dipersenjatai, algoritma menjadi perangkat efektif dalam perang kognitif, mengendalikan opini publik, memecah solidaritas sosial, hingga menggoyang stabilitas negara.

Cathy O’Neil dalam Weapons of Math Destruction menyebut algoritma nan tidak transparan, tidak bisa diaudit, bakal rawan jika digunakan pada skala besar. Konten nan memicu ketakutan, kemarahan, dan emosi negatif lainnya lebih mudah dikonsumsi lantaran selaras dengan langkah otak manusia berevolusi untuk memperkuat hidup. Melalui heuristics (jalan pintas berpikir), otak secara otomatis memberi prioritas pada info nan tampak menakut-nakuti alias mendesak, karena dalam lingkungan purba, mengenali ancaman dengan sigap bisa menyelamatkan nyawa.

Di era digital, respons naluriah ini menjadi komoditas. Algoritma tidak peduli apakah suatu info betul alias berguna, nan krusial dia memicu reaksi. Dan lantaran kemarahan serta ketakutan adalah emosi nan paling sigap menyalakan engagement, maka konten semacam itu terus didorong ke depan. Hasilnya, lini masa kita perlahan berubah menjadi medan tempur emosional nan disusun untuk membikin kita tetap terpaku, terpecah, dan terpicu.

Di sektor ekonomi, algoritma e-commerce bisa menonjolkan produk dari mitra internal, menekan nilai kompetitor, dan meminggirkan pelaku lokal. Ini bukan lagi sekadar kompetisi, tapi corak kolonialisasi digital nan merugikan kedaulatan ekonomi nasional.

PERLUNYA KEDAULATAN ALGORITMA

Di beragam negara, algoritma nan tak transparan dan dibiarkan tak terkendali telah terbukti mempercepat polarisasi politik, memperkuat segregasi sosial, dan menciptakan ekosistem info nan rawan dimanipulasi. Salah satu kasus nan paling mencolok adalah penggunaan Facebook dalam bentrok etnis di Myanmar pada tahun 2017.

Algoritma platform tersebut memperkuat penyebaran ujaran kebencian terhadap organisasi Rohingya. Hal ini telah dibuktikan oleh investigasi PBB dan Amnesty International. Untuk menjaga ruang digital, selama ini perhatian banyak tertuju pada rumor kedaulatan digital dan kedaulatan data. Namun, upaya tersebut realisasinya sangat kompleks. Kedaulatan digital memerlukan kemandirian di sektor perangkat keras, seperti produksi cip dan jaringan telekomunikasi, nan secara dunia tetap dikuasai oleh segelintir perusahaan.

Di sisi lain, kedaulatan info menghadapi persoalan ireversibilitas: sekali saja info bocor, dia tidak dapat dikembalikan ke pemiliknya, tetapi menjadi aset permanen nan bisa direplikasi, diperdagangkan, dan dimanfaatkan tanpa batas. Sebaliknya, kedaulatan algoritma tetap mungkin dikejar oleh negara berkembang seperti Indonesia. Dengan lebih dari 212 juta pengguna internet (DataReportal 2025), Indonesia adalah pasar strategis. Kita tak hanya punya hak, tapi juga daya tawar untuk ikut menetapkan arah teknologi global.

Langkah awal bisa dimulai dengan kebijakan transparansi. Setiap platform teknologi besar nan beraksi di Indonesia semestinya bersedia menjelaskan langkah kerja algoritmanya, khususnya dalam menentukan konten dan produk nan ditampilkan kepada pengguna.

Di Eropa, misalnya, Digital Services Act mewajibkan perusahaan digital besar membuka sistem rekomendasi mereka kepada publik dan menyediakan akses bagi otoritas independen untuk melakukan audit terhadap algoritma berisiko tinggi. AI Act bahkan melarang penggunaan AI untuk manipulasi psikologis dalam konteks tertentu.

Selain itu, perusahaan teknologi nan beraksi di Indonesia semestinya memberi ruang bagi pelaku upaya domestik agar tetap kompetitif di platform digital. Hal ini guna menjaga keberagaman dan keadilan dalam ekonomi digital nan makin monopolistik, serta memberikan level playing field bagi segenap pelaku industri digital termasuk UMKM.

Dalam menjaga keamanan dan stabilitas sosial di era digital, industri AI lokal dapat didorong untuk mengembangkan sistem nan mengidentifikasi pola penyebaran info bermasalah, seperti konten DFK, nan menyebar sigap tanpa verifikasi.

Selain itu, mereka juga dapat merancang sistem rekomendasi nan setara dan relevan secara budaya sehingga platform digital tidak mendorong hubungan semu, tapi juga memperkuat kohesi sosial dan mendukung kepentingan nasional. Di masa kini, pertarungan tidak hanya soal siapa nan menguasai data, tetapi juga siapa nan mengendalikan algoritma.