Hipmi Ke Pemprov Dki: Kaji Ulang Kebijakan Pajak Fasilitas Olahraga

Sedang Trending 6 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
 Kaji Ulang Kebijakan Pajak Fasilitas Olahraga Ilustrasi(Antara)

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai menerapkan pajak sebesar 10% terhadap 21 jenis akomodasi dan aktivitas olahraga melalui sistem Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) kategori jasa hiburan. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Jaya menilai kebijakan ini layak dikaji ulang agar tidak membebani pelaku upaya mini dan menengah (UMKM), organisasi olahraga, dan masyarakat nan sedang berupaya menjalani style hidup sehat.

Kebijakan ini merujuk pada Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta No. 257 Tahun 2025, nan mengatur pengenaan pajak atas beragam corak pembayaran seperti sewa lapangan, pemesanan (booking fee), penjualan tiket masuk, hingga paket layanan.

Adapun akomodasi olahraga nan terkena pajak meliputi lapangan tenis, futsal, badminton, basket, voli, squash, panahan, hingga aktivitas di pusat kebugaran seperti yoga, zumba, dan pilates. Aktivitas lainnya seperti berkuda, panjat tebing, ice skating, hingga olahraga nan sedang naik daun seperti padel, juga termasuk dalam daftar objek pajak.

Merespon perihal itu, Hipmi Jaya menyatakan kebijakan pengenaan tarif seragam sebesar 10% perlu mempertimbangkan beberapa aspek termasuk skala upaya dan segmentasi konsumen agar tidak berpotensi menyulitkan pelaku UMKM dan organisasi olahraga.

“Pengenaan pajak 10% sesungguhnya tidak masalah, asalkan ada timbal kembali nan sepadan khususnya kepada pengusaha nan mau membikin sarana olahraga. Misalnya kemudahan izin, kemudahan sarana pembiayaan, dan lain-lainnya," ujar Ketua Umum HIPMI Jaya, Ryan Haroen, dikutip dari siaran pers nan diterima, Sabtu (12/7).

Terlebih, lanjut Ryan, saat ini biaya hidup dan tekanan ekonomi masyarakat sedang meningkat, sehingga pajak ini bisa menjadi beban tambahan nan kontraproduktif terhadap misi style hidup sehat.

Di sisi lain, Hipmi Jaya menilai perlunya respon nan seimbang, mengenai kebijakan fiskal boleh diterapkan selama dibarengi insentif dan kemudahan bagi pelaku usaha.

Dirinya juga menyoroti persoalan mendasar dalam pendekatan kebijakan nan condong menyamakan aktivitas olahraga rekreatif dengan intermezo mewah.

“Terlepas dari apakah padel alias bagian olahraga lain banyak dimainkan oleh kalangan bisa alias tidak, kita harusnya memandang pada tujuan aktivitas ini sebagai sarana kesehatan bukan semata dari sisi hiburan," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Hipmi Jaya, Edlin Prabawa, menyebut bahwa pemerintah perlu melakukan sosialisasi menyeluruh agar kajian tersebut tepat sasaran.

“Pemprov perlu mempunyai kajian, seberapa besar ekspektasi tambahan pendapatan dari pengenaan pajak hiburan pada aktivitas olahraga ini dan apakah bakal menimbulkan pengaruh kontraproduktif, termasuk pengelompokkan nan memperhitungkan kontribusi sosial & kesehatan dari organisasi olahraga, contohnya pada olahraga padel," ujar Edlin.

Dari sisi teknis pelaksanaan, ketiadaan pengelompokkan tarif berasas skala upaya dinilai bisa memukul pelaku upaya mini dan organisasi nan mempunyai keterbatasan daya beli konsumen.

“Harus ada pengelompokkan nan jelas tentang besaran pajak nan dikenakan mengingat skala lapangan tenis dan bulu tangkis sangat bervariasi, ada nan dari UMKM sampai korporasi. Begitupun juga dengan konsumennya, ada juga nan middle low nan sangat price sensitif," ujar Ketua Banom Tenis Hipmi Jaya, Asa Dahlan.

Hipmi Jaya menyatakan kesiapan untuk berbincang dan memberikan masukan kepada Pemprov DKI Jakarta. Dengan mengedepankan pendekatan kolaboratif, Hipmi Jaya berambisi kebijakan perpajakan wilayah bisa tetap mendorong pertumbuhan ekonomi lokal sekaligus menjaga semangat hidup sehat dan olahraga masyarakat. (E-3)