Eks Presiden Korsel Diduga Kirim Drone Ke Pyongyang Demi Bikin Korut Marah

Sedang Trending 5 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Menurut laporan dari media Korea Selatan pekan ini, penyelidik telah memperoleh rekaman audio komunikasi antara presiden saat itu Yoon Suk Yeol, dengan pihak militer mengenai dugaan pengiriman drone ke ibukota Korea Utara tersebut.

Para analis meyakini, pelanggaran wilayah udara nan disebut terjadi pada Oktober 2024 ini ditujukan untuk memprovokasi Korea Utara agar bereaksi secara militer.

Jika perihal itu terjadi, Yoon bisa menggunakan situasi tersebut untuk mendeklarasikan keadaan darurat nasional, dan memberlakukan norma darurat militer — nan akhirnya dia lakukan pada bulan Desember.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yoon, nan kemudian dimakzulkan, sekarang menghadapi dakwaan pidana atas tuduhan pemberontakan mengenai deklarasi darurat militernya nan hanya berjalan singkat tersebut.

Mengapa Yoon diduga mengirim drone ke Pyongyang?

Menurut master kebijakan luar negeri di Universitas Kyung Hee, Seoul, Profesor Choo Jae-woo, "hanya ada dua alasan" nan sah bagi seorang presiden untuk memberlakukan darurat militer: Yakni agresi eksternal alias invasi.

"Nampaknya setelah memprovokasi Korea Utara, Yoon berambisi bakal ada serangan jawaban dari Pyogyang, nan bisa digunakan sebagai dasar norma untuk menyatakan darurat militer," ujarnya kepada DW.

Namun, rencananya kandas lantaran Korea Utara tidak membalas secara militer. Pyongyang memang mengusulkan protes keras, tetapi tidak melancarkan serangan apa pun.

Yoon mendeklarasikan darurat militer pada 3 Desember dengan argumen melindungi negara dari "komunis Korea Utara" dan "kekuatan antinegara." Namun, dia tidak memberikan bukti atas klaim tersebut.

Dampak dari deklarasi darurat militer Yoon

Usahanya nan kontroversial, untuk menggunakan militer guna mengambil alih kendali pemerintahan hanya berjalan beberapa jam. Ia menghadapi impeachment dan diskors 10 hari kemudian, lampau ditangkap pada Januari.

Tuduhan pemberontakan terhadap Yoon dapat dikenai balasan penjara seumur hidup alias apalagi balasan meninggal — meskipun Korea Selatan belum melakukan eksekusi balasan meninggal selama beberapa dasawarsa terakhir.

Yoon, nan dibebaskan dengan agunan pada bulan Maret, membantah semua tuduhan. Ia menyatakan bahwa "darurat militer bukanlah kudeta," dan bahwa deklarasinya adalah "pesan damai" untuk menunjukkan niat oposisi terhadap pemerintah.

Ia kembali diperiksa di Seoul pada akhir pekan lalu, dan sehari setelahnya, jaksa unik mengusulkan permohonan surat perintah penangkapan baru, atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan arsip resmi, pelanggaran undang-undang keamanan presiden, dan menghalangi tugas pejabat negara.

Menurut media Korea Selatan, sidang untuk mengkonfirmasi surat perintah penangkapan dijadwalkan pada hari Rabu (09/07). Yoon diperkirakan bakal datang langsung di pengadilan untuk memihak diri.

Pihak berkuasa menyatakan, tuduhan makar, termasuk pengiriman drone ke Korea Utara, belum dimasukkan dalam dakwaan lantaran tetap dalam penyelidikan. Namun, tuduhan itu bisa ditambahkan kemudian.

Bagaimana situasi bermula?

Pada Oktober 2024, muncul laporan adanya drone di atas wilayah ibu kota Korea Utara, Pyongyang — nan berjarak sekitar 210 kilometer dari Zona Demiliterisasi (DMZ) nan memisahkan kedua Korea — dalam tiga kejadian terpisah.

Korea Utara merilis gambar nan diklaim sebagai drone tersebut, dan menyatakan telah menemukan sisa-sisa salah satu UAV (pesawat tak berawak) setelah menembaknya jatuh, usai menjatuhkan selebaran propaganda.

Awalnya, Kementerian Pertahanan Korea Selatan membantah klaim Korea Utara. Namun beberapa jam kemudian, kementerian di Seoul menyatakan tidak bisa mengonfirmasi maupun menyangkal laporan tersebut.

Korea Utara menakut-nakuti bakal melakukan serangan jawaban terhadap Korea Selatan, sebagai respons atas selebaran propaganda nan dianggap berisi "fitnah dan sampah."

Meski Pyongyang mengutuk keras kejadian tersebut, dan menyebutnya bisa dianggap sebagai "serangan militer," mereka tidak melakukan serangan miiter lintas batas.

Tim investigasi unik nan dibentuk untuk menyelidiki tindakan Yoon selama masa jabatannya, menemukan rekaman bunyi seorang perwira senior dari Komando Operasi Drone, nan menyatakan bahwa komandannya menerima perintah operasi dari "V" — istilah militer Korea Selatan untuk menyebut perintah presiden nan sedang menjabat. Demikian menurut media Korea JoongAng Daily nan terbit 3 Juli lalu.

Penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan, dua drone pengintai dilaporkan lenyap di dekat perbatasan pada Oktober tahun lalu, dan menurut laporan dari Kementerian Pertahanan Korsel, argumen hilangnya barang tersebut "tidak diketahui."

Taruhan berisiko Yoon

"Jelas bahwa situasi ini bisa menjadi sangat serius," ujar Profesor Choo. "Insiden nan bisa terjadi bukan hanya bentrok mini di perbatasan, tapi bisa saja meningkat menjadi bentrok besar. Kita beruntung lantaran Korea Utara memilih tidak membalas."

Profesor hubungan internasional di Universitas Troy, Seoul, Dan Pinkston menyatakan, dugaan pelanggaran udara dengan drone tersebut adalah bagian dari rangkaian tindakan jawaban antara kedua Korea selama masa kepemimpinan Yoon nan justru meningkatkan ketegangan.

Korea Utara juga dilaporkan mengirim drone pengintai ke wilayah Selatan, dan mengganggu sinyal GPS di dekat perbatasan, mempengaruhi penerbangan dari dan ke Bandara Incheon.

"Ada juga golongan di Selatan nan mengirim balon berisi selebaran, makanan, uang, dan obat-obatan ke Korea Utara, nan kemudian dibalas oleh Utara dengan balon berisi sampah," tambah Pinkston.

Namun, perintah Yoon untuk mengirim drone militer ke wilayah udara Korea Utara, dianggap jauh lebih serius, lantaran merupakan "pelanggaran jelas terhadap perjanjian gencatan senjata" nan mengakhiri Perang Korea 1950–1953. Secara resmi, kedua negara tetap dalam status perang hingga saat ini.

Selain itu, tampaknya operasi tersebut dilakukan tanpa memberi tahu Amerika Serikat, maupun Komando PBB di perbatasan, tutur Pinkston.

Ancaman perang nan bisa menghancurkan

"Perintah Yoon untuk melakukan pelanggaran wilayah udara Korea Utara, bisa dengan mudah menjadi bumerang," kata Pinkston.

"Sangat susah untuk memahami logika di kembali keputusan ini, namun jelas bahwa itu mempertaruhkan negara pada akibat perang besar," katanya.

"Ini adalah tindakan ekstrem nan membahayakan wilayah Korea Selatan, rakyatnya, dan seluruh aset negara — hanya demi memungkinkan Yoon memperketat cengkeramannya atas kekuasaan secara otoriter," tutupnya.

(haf/haf)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini